Setiap tahun umat Islam merayakan tahun baru Islam. Aktifitas yang di masa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama belum pernah dilaksanakan ini memang punya banyak latar belakang. Salah satunya adalah mengingat berdirinya negara Islam pertama di dunia, Negara Madinah. Hasil musyawarah Khalifah Umar dengan para ahlul hilli wal aqdi menyepakati bahwa hitungan tahun resmi negara dimulai sejak tahun dimana Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama hijrah ke Madinah. Peristiwa hijrah Beliau shallallāhu ‘alaihi wasallama sendiri sebenarnya tidak di bulan Muharram, melainkan berangkat tanggal 27 Shafar dan tiba di Madinah tanggal 12 Rabiul Awal. Tetapi karena tahun dimana beliau shallallāhu ‘alaihi wasallama hijrah itu disepakati sebagai momentum berdirinya Madinah, dan seperti pembahasan sebelumnya bahwa Ibnu Hajar mengatakan demikian dalam kitab Fath Al-Bari:
“Para sahabat mengakhirkan awal Hijriyah dari Rabiul Awal ke
Muharram karena awal niat hijrah adalah pada Muharram, karena baiat adalah pada bulan Dzulhijjah yang merupakan awal dari hijrah, maka bulan pertama yang digunakan setelah ikrar dan tekad untuk hijrah adalah bulan Muharram, maka sudah sepatutnya untuk memulainya.”
Maka tidak bisa dipungkiri bahwa memperingati tahun baru Islam pada hakikatnya adalah memperingati hari lahirnya negara Islam Madinah semasa kehidupan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama.
Bila kita renungkan, mengapa sahabat Ali radhiyallāhu 'anhu mengusulkan agar momentum yang digunakan adalah saat Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallama hijrah dari Kota Makkah ke Madinah yang kemudian di sepakati oleh seluruh sahabat sebagai tahun baru Islam yang pertama. Kota Makkah kala itu merupakan suatu wilayah atau negeri yang di dalamnya berlaku kehidupan kufur jahiliyah, sedangkan Madinah adalah suatu negeri dimana di dalamnya terdapat kehidupan yang Islami, berbanding terbalik dengan kehidupan yang berlangsung di Makkah. Ini berkat usaha dari Mush’ab bin ‘Umair yang di utus oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama untuk ke Yastrib (nama Madinah waktu itu) guna menyampaikan Islam, dan alhamdulillah, kurang lebih selama dua tahun kemudian Mush’ab bin ‘Umair berhasil menjadikan penduduk Yastrib memeluk Islam yang diawali dengan masuk Islamnya ahlul quwwah kota Yastrib yakni Sa‘ad bin Muadz bin An-Nu’man dari Suku Aus dan Sa‘ad bin Ubadah dari suku Khazraj, serta menjadikan aqidah Islam sebagai landasan kaedah berfikir mereka, dan syariat Islam sebagai pengatur kehidupan mereka.
Setelah itu kemudian para sahabat Nabi melakukan hijrah dari kota Makkah menuju Kota Madinah, yang kemudian diikuti oleh hijrahnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama yang ditemani oleh Abu Bakar radhiyallāhu 'anhu setelah mendapat ijin dari Allah Subhānahu wata’āla untuk berhijrah ke Madinah. Maka seharusnya, betul-betul memahami apa makna hakiki di balik peristiwa Hijrah yang kemudian dijadikan sebagai penanggalan tahun untuk umat Islam yakni tahun Hijriah. Bukan hanya sebatas perayaan seremonial setiap akan memasuki tanggal 1 Muharram sebagai pertanda mulai masuknya tahun baru Islam.
Umat Islam seharusnya melakukan muhasabah dan berupaya agar perpindahan tahun baru islam itu menuju perpindahan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik tentunya yang di maksud di sini adalah kehidupan yang dibangun dengan berpijak kepada syariat Islam. Sehingga kehidupan di tahun yang baru lebih baik dari kehidupan tahun sebelumnya.
Wallāhu ta'āla 'Alamu bish-shawāb
Oleh : Ust. Anugerah, ST., Lc., MA
Allah Subhānahu wata’āla berfirman.
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu” (QS At-Taubah [9]: 36)
Hendaklah kita berhati-hati dari kezaliman, baik menzalimi diri kita sendiri atau menzalimi orang lain. Hendaklah kita mengingat wasiat kekal Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama dalam sabdanya.
“Tahukah kalian dengan kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” (Hadits Riwayat Muslim dan lainnya. Shahih al-Jami no 102)
Dan hendaklah kita menjaga diri dari do’anya orang-orang yang dizalimi, walaupun ia kafir atau fajir (jahat), karena sesungguhnya do’anya dikabulkan oleh Allah (karena tidak ada penghalang antara dia dengan Allah). Ingatlah kita kepada sabda Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama
“Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya bagi pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kezaliman) dan memutus silaturahim.” (Ash-Shahihah No 915)
Adapun orang yang membantu orang-orang yang zalim di dalam kezaliman dan kesesatan mereka, apapun kedudukan orang-orang yang zalim itu, baik penguasa ataupun rakyat, maka ingatlah bahwa adzab yang pedih pasti akan menunggu mereka. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama bersabda.
“Siapa membantu orang yang zhalim, untuk menolak kebenaran dengan kebhatilannya, maka sesungguhnya jaminan Allah dan Rasul-Nya telah terlepas darinya." (HR Hakim, Shahihul Jami’ no 6048)
Hadits yang mulia di atas cukuplah menjadi peringatan dari kezaliman, baik kecil maupun besar, bagi orang yang berakal, atau orang yang mau mendengarkan, sedangkan dia menyaksikan.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama mendorong kita untuk banyak melakukan shaum pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,
“Shaum yang paling utama setelah (shaum) Ramadhan adalah shaum pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah)
Imam An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk menunaikan shaum adalah pada bulan Muharram.” (Syarh Shahih Muslim)
Lalu mengapa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama diketahui banyak shaum di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi.
Pertama: Mungkin saja Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama baru mengetahui keutamaan banyak shaum di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.
Kedua: Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak shaum pada bulan Muharram.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Shaum yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab) adalah shaum di bulan Muharram (syahrullah).” (Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 67).
Shaum yang Utama di Bulan Muharram adalah shaum ‘Asyura
Dari hari-hari yang sebulan itu, shaum yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah shaum pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram. Yang memiliki pendapat berbeda adalah Ibnu ‘Abbas yang menganggap ‘Asyura adalah tanggal 9 Muharrram. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 99). Shaum pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,
“Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama ditanya mengenai keutamaan shaum Arafah? Beliau menjawab, ”Shaum Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan shaum ’Asyura? Beliau menjawab, ”Shaum ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)
Imam An Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Para ulama sepakat, hukum melaksanakan shaum ‘Asyura untuk saat ini (setelah diwajibkannya shaum Ramadhan) adalah sunnah dan bukan wajib.” (Al Minhaj Syarh Muslim, 8/4)
Sejarah Pelaksanaan Shaum ‘Asyura
Tahapan pertama: Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama melaksanakan shaum ‘Asyura di Makkah dan beliau tidak perintahkan yang lain untuk melakukannya.
Dari ’Aisyah -radhiyallahu ’anhā-, beliau berkata,
"Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan shaum ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga melakukan shaum tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan shaum tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala shaum Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan shaum ’Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan bershaum. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak bershaum).” (HR Bukhari no. 2002 dan Muslim no. 1125)
Tahapan kedua: Ketika tiba di Madinah, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama melihat Ahlul Kitab melakukan shaum ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Lalu beliau pun ikut bershaum ketika itu. Kemudian ketika itu, beliau memerintahkan pada para sahabat untuk ikut shaum. Melakukan shaum ‘Asyura ketika itu semakin ditekankan perintahnya. Sampai-sampai para sahabat memerintah anak-anak kecil untuk turut shaum.
Dari Ibnu Abbas radhiyallāhu ’anhumā, beliau berkata,
“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama mendapati orang-orang Yahudi melakukan shaum ’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bertanya, ”Hari yang kalian beshaum ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa bershaum pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau bershaum pada hari ini”. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk shaum.” (HR Muslim No. 1130)
Apakah ini berarti Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama meniru-niru (tasyabbuh dengan) Yahudi?
Imam An-Nawawi –rahimahullah- menjelaskan, ”Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama biasa melakukan shaum ’Asyura di Makkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy. Kemudian Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama tiba di Madinah dan menemukan orang Yahudi melakukan shaum ‘Asyura, lalu beliau shallallāhu‘alaihi wasallama pun ikut melakukannya. Namun beliau melakukan shaum ini berdasarkan wahyu, berita mutawatir (dari jalur yang sangat banyak), atau dari ijtihad beliau, dan bukan semata-mata berita salah seorang dari mereka (orang Yahudi). Wallahu a’lam.”(Al Minhaj Syarh Muslim, 8/11)
Para ulama berselisih pendapat apakah shaum ‘Asyura sebelum diwajibkan shaum Ramadhan dihukumi wajib ataukah sunnah mu’akkad? Di sini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Sebelum diwajibkan shaum Ramadhan, pada masa tahapan kedua, shaum ‘Asyura dihukumi wajib. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Abu Bakr Al Atsrom.
Pendapat kedua: Pada masa tahapan kedua ini, shaum ‘Asyura dihukumi sunnah mu’akkad. Ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i dan kebanyakan dari ulama Hambali. (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 94)
Namun yang jelas setelah datang shaum Ramadhan, shaum ‘Asyura tidaklah diwajibkan lagi dan dinilai sunnah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi -rahimahullah-. (Al Minhaj Syarh Muslim, 8/4)
Tahapan ketiga: Ketika diwajibkannya shaum Ramadhan, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama tidak memerintahkan para sahabat untuk shaum ‘Asyura dan tidak terlalu menekankannya. Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama mengatakan bahwa siapa yang ingin shaum, silakan dan siapa yang tidak ingin shaum, silakan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ’Aisyah radhiyallāhu ’anhā dalam hadits yang telah lewat dan dikatakan pula oleh Ibnu ’Umar berikut ini. Ibnu ’Umar -radhiyallāhu ’anhumā- mengatakan,
“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan shaum pada hari ’Asyura. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama pun melakukan shaum tersebut sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan, begitu pula kaum muslimin saat itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin shaum, silakan shaum. Barangsiapa meninggalkannya juga silakan.” (HR. Muslim no. 1126)
Ibnu Rajab -rahimahullāh- mengatakan, “Setiap hadits yang serupa dengan ini menunjukkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama tidak memerintahkan lagi untuk melakukan shaum ‘Asyura setelah diwajibkannya shaum Ramadhan. Akan tetapi, beliau meninggalkan hal ini tanpa melarang jika ada yang masih tetap melaksanakannya. Jika shaum ‘Asyura sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan dikatakan wajib, maka selanjutnya apakah jika hukum wajib di sini dihapus (dinaskh) akan beralih menjadi mustahab (disunnahkan)? Hal ini terdapat perselisihan di antara para ulama.
Begitu pula jika hukum shaum ‘Asyura sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan adalah sunnah muakkad, maka ada ulama yang mengatakan bahwa hukum shaum Asyura beralih menjadi sunnah saja tanpa muakkad (ditekankan). Oleh karenanya, Qois bin Sa’ad mengatakan, “Kami masih tetap melakukannya.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 96). Intinya, shaum ‘Asyura setelah diwajibkannya shaum Ramadhan masih tetap dianjurkan (disunnahkan).
Tahapan keempat: Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan shaum Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan shaum pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi shaum Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallāhu ’anhumā berkata bahwa ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama melakukan shaum hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,
“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan shaum pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,
“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)
Menambahkan Shaum 9 Muharram
Sebagaimana dijelaskan di atas (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir umurnya, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama bertekad untuk menambah shaum pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau sudah keburu meninggal sehingga beliau belum sempat melakukan shaum pada hari itu. Lalu bagaimana hukum menambahkan shaum pada hari kesembilan Muharram? Berikut kami sarikan penjelasan Imam An-Nawawi rahimahullāh.
Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan
selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) shaum pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama shaum pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) shaum juga pada hari kesembilan. Apa hikmah Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama menambah shaum pada hari kesembilan? Imam An- Nawawi rahimahullāh melanjutkan penjelasannya. Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama shaum pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya shaum pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai shaum Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. (Al Minhaj Syarh Muslim, 8/12-13)
Ibnu Rojab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan shaum pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya shaum pada hari kesepuluh saja.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 99). Intinya, kita lebih baik shaum dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan shaum ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:
Shaum 9, 10, dan 11 Muharram
Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya shaum pada hari ke-9, 10, dan 11 Muharram. Inilah yang dianggap sebagai tingkatan lain dalam melakukan shaum Asy Syura. (Sebagaimana pendapat Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad). Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallāhu ’anhumā. Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama bersabda,
“Shaumlah pada hari ’Asyura’ (10 Muharram) dan selisilah Yahudi. Shaumlah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu ’Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho’if (lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abi Laila -yang nama aslinya Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin ’Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata, ”Daud kadang yukhti’ (keliru).” Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Teteapi, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma’anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ’Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallāhu ’anhumā berkata,
“Selisilah Yahudi. Shaumlah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.” Sanad hadits ini adalah shahih, namun diriwayatkan secara mauquf (hanya dinilai sebagai perkataan sahabat). (Dinukil dari catatan kaki dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 2/60, terbitan Darul Fikr yang ditahqiq oleh Syaikh Abdul Qodir Arfan).
Amalan sunnah berikutnya adalah memberikan kelapangan kepada keluarga, termasuk istri dan anak-anak, di hari asyura. Memberikan kelapangan ini maksudnya adalah membantu mereka dan menyenangkan hati mereka. Misalnya buka bersama di rumah makan, memberikan hadiah, dan sejenisnya.
Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah membuat judul khusus يوم التوسعة عاشوراء (Bagaimana merayakan hari Asyura). Sayyid Sabiq mencantumkan hadits ini di bawah judul tersebut:
“Barangsiapa memberi kelapangan bagi dirinya dan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu” (HR. Baihaqi)
“Hadits tersebut memiliki riwayat lain, tetapi semuanya lemah,” kata Sayyid Sabiq. “Hanya saja apabila digabungkan antara satu dengan lainnya, maka bertambah kuat sebagaimana yang telah dikatakan Sakhawi.” Berikut ini sebagian hadits-hadits yang dimaksud oleh Sayyid Sabiq sebagai penguat hadits di atas:
“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan melapangkannya di keseluruhan tahun itu” (HR. Thabrani dan Hakim)
“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka ia takkan kesulitan di waktu lain sepanjang tahun itu” (HR Thabrani)
“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan kepada keluarganya sepanjang tahun itu” (HR Baihaqi)
“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu” (HR Baihaqi)
Bersambung...
Oleh : Ust. Anugerah, ST., Lc., MA
Bulan Muharram termasuk bulan yang istimewa. Banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah dan rasul-Nya memuliakan bulan Muharram, di antaranya adalah:
1. Termasuk Empat Bulan Haram (suci)
Allah Subhānahu wata’āla berfirman,
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus.” (QS At-Taubah [9]: 36)
Yang dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab. Disebut bulan haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliyah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan. Az-Zuhri mengatakan,
“Dulu para sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, no.17301).
Dari Abu Bakrah radhiyallāhu‘anhu, bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama bersabda,
“Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
2. Bulan Muharram dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sebaik-baik shaum setelah Ramadhan adalah shaum di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan shaum sunnah.” (Syarh Shahih Muslim, 8:55). As-Suyuthi mengatakan,
Dinamakan syahrullah –sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini– karena nama bulan ini “Al-Muharram” nama nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama Shafar Awwal. Kemudian ketika Islam datang, Allah ganti nama bulan ini dengan Al-Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3:252). Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham [arab: األصم هللا شهر] (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, Hal. 34). karena itu, tidak boleh ada sedikitpun friksi dan konflik di bulan ini.
3. Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat
Hari itu adalah hari Asyura’. Orang Yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas radhiyallāhu‘anhuma, beliau menceritakan,
"Ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi bershaum di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun bershaum
pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama menunaikan shaum dan memerintahkan para sahabat untuk shaum. (HR Al Bukhari)
4. Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan
Hasan Al-Bashri mengatakan,
"Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini." (Lathaiful Ma’arif, Hal. 34)
Bersambung...
Oleh : Ust. Anugerah, ST., Lc., MA
Banyak kemenangan dan kebaikan yang terjadi pada masa Nabi-Nabi
Bulan Muharram pada hari Asyura disebut sebagai hari kebebasan Musa dari kejaran Fira’un, dan umat Muslim sangat disunahkan menunaikan shaum pada tanggal itu.
Dari ’Aisyah Radhiyallāhu ’anha, beliau berkata,
“Orang-orang Quraisy biasa bershaum pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau bershaum pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk menunaikan shaum." (Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad
6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, dll.)
"Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi bershaum pada hari Asyura. Beliau bertanya:
”Apa ini?” Mereka menjawab: ”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa bershaum pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab: ”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan bershaum pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu." (Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, dll.)
Dua hadits ini menunjukkan bahwa hari Asyura di masa jahiliyah, orang-orang Quraisy telah melakukannya sebelum hijrah Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama, Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi bershaum pada hari itu, maka Nabi-pun menunaikan shaum dan mendorong umatnya untuk menunaikan shaum.
Mengenai riwayat tentang Nabi Nuh 'alaihis-salām, yaitu:
“Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh bershaum pada hari itu sebagai wujud rasa syukur.” (Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if)
Adapun di antara peristiwa dalam sejarah Islam yang terjadi di bulan Muharram lainnya adalah sebagai berikut:
Salah satu dasar yang dijadikan acuan pengesahan Muharam menjadi bulan pertama kalender Hijriyah adalah peristiwa Baiat Aqabah kedua yang terjadi pada akhir Dzulhijah. Baiat itu berisi kesepakatan perlunya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallama dan umat Islam melakukan hijrah ke Madinah, sehingga ada sebagian sahabat yang sudah memulai hijrah pada Muharam.
Dilansir dari alukah, Al-Hafiz Ibnu Hajar telah mengumpulkan beberapa riwayat yang merujuk pada Muharram untuk menjadi awal tahun Hijriyah. Ibnu Hajar mengatakan demikian dalam kitab Fath Al- Bari:
“Para sahabat mengakhirkan awal Hijriyah dari Rabiul Awal ke Muharram karena awal niat hijrah adalah pada Muharram, karena baiat adalah pada bulan Dzulhijjah yang merupakan awal dari hijrah, maka bulan pertama yang digunakan setelah ikrar dan tekad untuk hijrah adalah bulan Muharram, maka sudah sepatutnya untuk memulainya.”
Perang Khaibar merupakan perang untuk menaklukkan Yahudi. Masyarakat Yahudi Khaibar paling sering mengancam pihak Madinah melalui persekutuan Quraisy. Pasukan muslimin yang dipimpin langsung Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallama menyerang benteng pertahanan Yahudi di Khaibar. Langkah taktis itu berhasil sehingga memberikan kemenangan bagi pasukan muslim.
Pihak Yahudi meminta Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama untuk tidak mengusir mereka dari Khaibar. Sebagai imbalannya, mereka berjanji tidak lagi memusuhi Madinah dan menyerahkan hasil panen kepada kaum muslim dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama saat itu pun menerima tawaran itu. Walau pada akhirnya Yahudi mengingkari perjanjian damai itu.
Umar bin Khattab radhiyallāhu 'anhu lahir 13 tahun setelah Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallama dilahirkan atau sekitar tahun 583 M. Beliau memiliki kesempatan belajar membaca dan menulis sehingga termasuk dari tujuh belas orang yang menguasai baca tulis pada masa itu.
Setelah Abu Bakar wafat, Umar bin Khattab radhiyallāhu 'anhuma menjabat sebagai khalifah yang kedua. Ia adalah pemimpin pertama yang diberi gelar Amirul Mukminin (pemimpin kaum Muslimin). Dibalik sikap kerasnya Umar, tersembunyi kelembutan dan kebesaran kasih sayang. Sikap kerasnya itu seakan menjadi tameng untuk menutupi rasa kemanusiaannya yang besar dalam dirinya. Dengan demikian. Ia dapat menjadi pemimpin yang bijaksana, kharismatik.
Umar memerintah selama 10 tahun 6 bulan, dan Allah menjadikan Negara yang ia pimpin menjadi negara terkuat pada masanya. Umar meninggal dunia karena ditikam oleh Abu Lu’luah Fairuz, seorang budak Al-Mughirah bin Syu’bah pada hari Rabu tanggal 26 Dzul Hijjah 23 H. dan jatuh sakit selama tiga hari sebelum wafatnya. Sebelum meninggal, Umar meminta kepada anaknya, Abdullah, untuk memohon izin kepada ‘Aisyah radhiyallāhu 'anhā agar dimakamkan di samping kedua sahabatnya, yaitu Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama dan Abu Bakar radhiyallāhu 'anhu, Aisyah radhiyallāhu 'anhā pun mengizinkannya.
Bersambung…
Oleh : Ust. Anugerah, ST., Lc., MA
Masyarakat Arab sejak masa silam, sebelum kedatangan Islam, telah menggunakan kalender qamariyah (kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat tanggal 1 ditandai dengan kehadiran hilal. Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal. Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.
Hanya saja masyarakat jazirah Arab belum memiliki angka tahun. Mereka tahu tanggal dan bulan, tapi tidak ada tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu. Kita kenal ada istilah tahun gajah, karena pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja Abrahah. Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar. Tahun renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya sebagai acuan, semisal; 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai.
Keadaan semacam ini berlangsung terus sampai zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama dan Khalifah Abu Bakr radhiyallāhu ‘anhu. Ketika itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah peristiwa besar yang
terjadi ketika itu. Berikut beberapa nama tahun di masa Nabi shallallāhu‘alaihi wasallam:
Sampai akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu menjadi khalifah. Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallāhu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah. Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:
“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:
“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”
Ada yang mengusulkan, untuk menggunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain (Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:
"Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallāhu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.” Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).
Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama yang menjadi acuan? Jawabannya disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:
"Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat: tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat. Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau (Fathul Bari, 7:268).
Abu Zinad mengatakan:
“Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah." (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Karena hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama, selanjutnya kalender ini dinamakan kalender hijriah. Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama. Pada musyawarah tersebut, Utsman bin
Affan radhiyallāhu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa alasan:
Sejak saat itu, kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut.
Bersambung…
Oleh : Ust. Anugerah, ST., Lc., MA
Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan ini disebut oleh Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallam sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Tentunya, bulan ini memilki keutamaan yang sangat besar. Di zaman dahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallama bulan ini bukanlah dinamakan bulan Al-Muharram, tetapi dinamakan bulan Shafar Al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakan Shafar Ats-Tsani. Setelah datangnya Islam kemudian Bulan ini dinamakan Al-Muharram. (As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj ‘ala Muslim)
Bulan Muharram (المحرم) di dalam bahasa Arab artinya berasal dari kata haram (حرم) yang artinya suci atau terlarang. Al-Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan,” Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”
Berkaitan dengan terlarang dari menzalimi diri-diri kita dan berbuat
dosa. Allah Subhānahu wata’āla berfirman:
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS At-Taubah [9]: 36)
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallāhu ‘anhu, bahwa
Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama bersabda:
“Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan, yaitu: Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Al-Muharram, serta RajabMudhar yang terletak antara Jumada dan Sya’ban. “(HR Al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679/4383)
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan surat
At-Taubah ayat 36 sebagai berikut, “Allah Ta’ala berfirman sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah, maksudnya di dalam ketetapan dan taqdir-Nya, ialah dua belas bulan, yaitu bulan-bulan yang sudah dikenal tersebut, dalam ketetapan Allah, maksudnya adalah di dalam hukum- kauni-Nya (taqdir) di waktu Dia menciptakan langit dan bumi dan memperjalankan malam serta siangnya, menetapkan waktu- waktunya, lalu membagi-baginya dalam dua belas bulan ini di antaranya ada empat bulan haram, yaitu Rajab yang disebutkan menyendiri (tidak urut dengan ketiga bulan lainnya), Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Al- Muharram dinamakan bulan Haram karena kemuliaannya yang lebih dan dilarangnya melakukan perang di dalamnya.
Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian di dalamnya kemungkinan maknanya adalah kata ganti ‘nya’ kembali kepada dua belas bulan dan Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia menjadikan dua belas bulan tersebut sebagai sesuatu yang bernilai bagi hamba-hamba-Nya, (mereka tertuntut) untuk memakmurkannya dengan ketaatan, bersyukur kepada Allah Ta’ala atas anugerah-Nya tersebut dan atas kemanfaatannya untuk kemaslahatan hamba. Maka jagalah diri kalian dari menganiaya diri kalian di dua belas bulan-bulan tersebut!
Kemungkinan (kedua) maknanya adalah kata ganti ‘nya’ kembali kepada empat bulan Haram, dan ini berarti larangan bagi mereka untuk berbuat aniaya (zhalim) di dalam empat bulan Haram tersebut secara khusus, karena kemuliaan empat bulan tersebut lebih tinggi dan karena kezhaliman yang dilakukan di dalam empat bulan tersebut lebih berat (pelanggarannya) dibandingkan dengan (jika kezhaliman tersebut) dilakukan pada bulan-bulan selainnya.Diiringi dengan larangan berbuat aniaya (zhalim) di setiap waktu. Termasuk kedalam larangan berbuat aniaya (zhalim) itu adalah larangan berperang di empat bulan Haram tersebut, (ini) menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa perang di bulan-bulan Haram itu tidaklah dihapus pengharamannya, karena mengamalkan dalil-dalil umum yang menunjukkan pengharaman perang di dalam bulan-bulan Haram tersebut” (Taisiril Karimir Rahman, hal. 372-373).
Pada ayat 36 surat at-Taubah di atas, Allah Subhānahu wata’āla
berfirman:
“Janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di dalamnya”, karena berbuat
dosa pada bulan-bulan haram ini lebih berbahaya daripada di bulan-bulan lainnya. Qatadah rahimahullah pernah berkata:
“Sesungguhnya berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat kezaliman di selain bulan-bulan tersebut. Meskipun berbuat zalim pada setiap keadaan bernilai besar, tetapi Allah membesarkan segala urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya.” (Tafsir ibnu Abi hatim VI/1793)
Ibnu ‘Abbas radhiallāhu ‘anhuma berkata:
“Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.” (Tafsir Ibnu Abi Hatim VI/1791)
Al-Asyhurul Hurum adalah nama dari bulan haram dalam syari’at Islam. Bulan-bulan tersebut memiliki kemuliaan lebih dibandingkan dengan bulan-bulan selainnya. Di antara bentuk kemuliaan tersebut adalah tidak dibolehkan perang di bulan ini. Para ulama berbeda pendapat dalam hal larangan berperang pada bulan ini. Jumhur ulama memandang bahwa larangan berperang pada bulan- bulan ini telah di-naskh (dihapuskan), karena Allah Subhānahu wata’āla berfirman:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS At-Taubah [9]: 5)
Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan tersebut, tidak dihapuskan dan sampai sekarang masih berlaku. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa tidak boleh memulai peperangan pada bulan-bulan ini, tetapi jika perang tersebut dimulai sebelum bulan-bulan haram dan masih berlangsung pada bulan- bulan haram, maka hal tersebut diperbolehkan. Pendapat yang tampaknya lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama memerangi penduduk Thaif pada bulan Dzul-Qa’dah pada peperangan Hunain.
Bersambung...
oleh : Ust. Anugerah, ST., Lc., MA
Dari Zaid bin Khālid Al-Juhani -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū', "Siapa yang mempersiapkan bekal untuk orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang dan barangsiapa yang mengurus keluarga orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang." (Hadis sahih - Muttafaq 'alaih)
Pernahkah Anda membayangkan betapa besar pahala yang bisa Anda dapatkan dengan membantu seorang anak menghafal Al-Qur'an? Di PUSDASI, kami memberikan kesempatan emas ini kepada Anda. Program Anshar Qurani kami tidak hanya membantu anak-anak menghafal Al-Qur'an, tetapi juga memberikan Anda kesempatan untuk meraih pahala yang terus mengalir, meski Anda sendiri mungkin tidak memiliki waktu untuk menghafal. Dengan menjadi Anshar Qurani, Anda tidak hanya berinvestasi untuk akhirat, tetapi juga berkontribusi dalam mencetak generasi penghafal Al-Qur'an yang akan membawa berkah bagi umat.
Program Anshar Qurani PUSDASI dirancang untuk memberikan dukungan kepada santri di Tuhfatul Athfaal dan Al-Insyirah Quranic Leadership Camp. Melalui program ini, Anda bisa membantu mendanai pendidikan dan kebutuhan santri yang berusaha menghafal Al-Qur'an. Program ini juga memungkinkan Anda untuk ikut memantau perkembangan santri melalui laporan yang diberikan di grup WhatsApp yang dikelola oleh admin kami.
Dan raih kesempatan untuk mendapatkan banyak keuntungan dunia akhirat menjdai orantua asuh. Santri terbatas, pastikan Anda menjadi bagian dari generasi Qur'ani yang gemilang. Klik tombol di bawah ini untuk mendaftar sekarang!
[button link="https://wa.link/07p0n6" type="big" color="orange" newwindow="yes"] DAFTAR[/button]
Perhatian! Pendaftaran mungkin saja tutup sewaktu-waktu karena keterbatasan santri! Jangan sampai ketinggalan!
Segera daftarkan diri Anda dan dapatkan keberkahan dunia dan akhirat bersama PUSDASI - Best Quranic Learning Center
1. Siapa yang bisa menjadi Anshar Qurani?
Siapa saja yang memiliki niat baik dan ingin mendapatkan pahala menghafal Al-Qur'an dapat menjadi Anshar Qurani. Tidak ada batasan usia atau latar belakang tertentu.
2. Berapa jumlah minimal dan maksimal kontribusi yang bisa saya berikan?
Tidak ada jumlah minimal atau maksimal. Anda bisa memberikan kontribusi sesuai dengan komitmen yang dapat anda berikan. Semua kontribusi, sekecil apapun, sangat berarti bagi santri kami.
3. Apakah saya bisa mengunjungi santri yang saya dukung?
Ya, Anda bisa mengunjungi santri yang Anda dukung dengan mengatur jadwal terlebih dahulu melalui admin kami. Kami sangat terbuka untuk kunjungan Anshar Qurani.
4. Bagaimana saya bisa memantau perkembangan santri yang saya dukung?
Setelah mendaftar, Anda akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp bersama Anshar Qurani lainnya untuk anak yang sama. Di sana, Anda akan menerima laporan rutin mengenai perkembangan santri yang Anda dukung.
Banyak orang mencari cara untuk memperdalam hubungan spiritual dengan Allah dan meningkatkan hafalan Al-Qur'an, namun mereka tidak memiliki lingkungan dan suasana kondusif untuk mendukung hal tersebut. Al-Insyirah Quranic Leadership Camp menawarkan solusi ideal dengan menyediakan tempat yang tenang dan mendukung, di mana peserta dapat fokus pada hafalan dan pemahaman Al-Qur'an dalam lingkungan yang nyaman dan inspiratif.
Al-Insyirah Quranic Leadership Camp adalah program yang dirancang untuk membina generasi Qur'ani dengan adab dan karakter pemimpin. Kami menawarkan berbagai program yang mencakup:
Dan raih kesempatan untuk belajar Al-Qur'an dengan suasana kondusif di Al-Insyirah Quranic Leadership Camp. Tempat terbatas, pastikan Anda menjadi bagian dari generasi Qur'ani yang gemilang. Klik tombol di bawah ini untuk mendaftar sekarang!
[button link="#" type="big" newwindow="yes"] COMING SOON[/button]
Perhatian! Pendaftaran mungkin saja tutup sewaktu-waktu karena keterbatasan kelas! Jangan sampai ketinggalan!
Segera daftarkan diri Anda dan raih prestasi dunia dan akhirat bersama PUSDASI - Best Quranic Learning Center.
Dengan mengikuti Al-Insyirah Quranic Leadership Camp, Insyaa Allah anda akan merasakan banyak perubahan dalam hidup Anda:
Siapa saja yang bisa ikut program ini?
Program ini terbuka untuk berbagai usia mulai dari SMP hingga dewasa yang ingin memperdalam hafalan dan pemahaman Al-Qur'an.
Apakah saya bisa mendapatkan beasiswa?
Ya, kami menyediakan beasiswa parsial dan full untuk peserta yang memenuhi kriteria tertentu.
Apa saja fasilitas yang disediakan?
Kami menyediakan fasilitas villa yang nyaman, lingkungan pedesaan yang asri, serta fasilitas rekreasi seperti berenang dan memanah.
Apakah ada program khusus untuk pengajar Al-Qur'an?
Ya, kami memiliki program Daurah Mua’allim Qur’an yang dirancang khusus untuk pembinaan dan training pengajar Al-Qur'an.
Di Tuhfathul Athfaal PUSDASI, kami menawarkan pendidikan Al-Qur'an yang tidak hanya mendalam, tetapi juga mendukung pencapaian prestasi gemilang. Kami memahami bahwa Al-Qur'an adalah pondasi kehidupan, dan kami siap membantu Anda dan keluarga menggapai potensi terbaik dengan bimbingan dari para ahli.
Metode UMMI telah terbukti menjadi salah satu metode terbaik dalam mengajarkan membaca Al-Qur'an. Dengan pendekatan yang sederhana dan sistematis, metode ini menggabungkan pembelajaran kinestetik, audio, dan visual sehingga mudah dipahami oleh semua usia. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun dapat belajar dengan cepat dan efektif.
Apa yang membuat metode UMMI begitu istimewa? Berikut beberapa keunggulannya dibandingkan metode lainnya:
Metode MAQDIS telah dirancang khusus untuk memudahkan proses menghafal Al-Qur'an. Metode ini telah terbukti membantu ribuan orang dari berbagai usia dalam menghafal ayat-ayat suci dengan lebih cepat dan terstruktur. Dengan pendekatan yang unik, metode MAQDIS menawarkan cara yang berbeda dan lebih efektif dibandingkan metode menghafal lainnya.
Apa yang membuat metode MAQDIS unggul? Berikut beberapa kelebihannya:
Suasana Belajar yang Nyaman dan Kondusif
Dan raih kesempatan untuk belajar Al-Qur'an dengan bimbingan terbaik di Tuhfathul Athfaal PUSDASI. Tempat terbatas, pastikan Anda menjadi bagian dari generasi Qur'ani yang gemilang. Klik tombol di bawah ini untuk mendaftar sekarang!
[button link="https://wa.link/ozfph6" type="big" color="orange" newwindow="yes"] DAFTAR[/button]
Perhatian! Pendaftaran mungkin saja tutup sewaktu-waktu karena keterbatasan kelas! Jangan sampai ketinggalan! Segera daftarkan diri Anda dan raih prestasi dunia dan akhirat bersama PUSDASI - Best Quranic Learning Center
Apakah program ini hanya untuk anak-anak?
Tidak, kami memiliki program untuk berbagai usia, mulai dari TK hingga lansia, dengan kelas yang disesuaikan untuk setiap kelompok usia.
Berapa lama durasi setiap program?
Durasi program bervariasi tergantung pada jenis kelas yang diambil. Informasi lebih detail bisa Anda dapatkan di halaman program kami.
Apakah ada biaya pendaftaran?
Ya, setiap program memiliki biaya pendaftaran dan biaya bulanan yang berbeda. Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi kami melalui whatsapp, kami sangat terbuka untuk konsultasi langsung.
Apakah kelas online efektif?
Khusus kelas bimbingan hidup bersama Al-Qur’an diadakan secara online dengan pertemuan offline tiap 3 bulan sekali, kelas online kami dirancang dengan metode pembelajaran yang interaktif dan didukung oleh pengajar berpengalaman, sehingga tetap efektif meskipun dilakukan secara daring.
Dan raih kesempatan untuk belajar Al-Qur'an dengan bimbingan terbaik di Tuhfathul Athfaal PUSDASI. Tempat terbatas, pastikan Anda menjadi bagian dari generasi Qur'ani yang gemilang. Klik tombol di bawah ini untuk mendaftar sekarang!
[button link="https://wa.link/ozfph6" type="big" color="orange" newwindow="yes"] DAFTAR[/button]
Perhatian! Pendaftaran mungkin saja tutup sewaktu-waktu karena keterbatasan kelas! Jangan sampai ketinggalan! Segera daftarkan diri Anda dan raih prestasi dunia dan akhirat bersama PUSDASI - Best Quranic Learning Center