Allah Subhānahu wata’āla berfirman.

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu” (QS At-Taubah [9]: 36)

Hendaklah kita berhati-hati dari kezaliman, baik menzalimi diri kita sendiri atau menzalimi orang lain. Hendaklah kita mengingat wasiat kekal Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama dalam sabdanya.

Tahukah kalian dengan kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” (Hadits Riwayat Muslim dan lainnya. Shahih al-Jami no 102)

Dan hendaklah kita menjaga diri dari do’anya orang-orang yang dizalimi, walaupun ia kafir atau fajir (jahat), karena sesungguhnya do’anya dikabulkan oleh Allah (karena tidak ada penghalang antara dia dengan Allah). Ingatlah kita kepada sabda Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama

Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya bagi pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kezaliman) dan memutus silaturahim.” (Ash-Shahihah No 915)

Adapun orang yang membantu orang-orang yang zalim di dalam kezaliman dan kesesatan mereka, apapun kedudukan orang-orang yang zalim itu, baik penguasa ataupun rakyat, maka ingatlah bahwa adzab yang pedih pasti akan menunggu mereka. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama bersabda.

Siapa membantu orang yang zhalim, untuk menolak kebenaran dengan kebhatilannya, maka sesungguhnya jaminan Allah dan Rasul-Nya telah terlepas darinya." (HR Hakim, Shahihul Jami’ no 6048)

Hadits yang mulia di atas cukuplah menjadi peringatan dari kezaliman, baik kecil maupun besar, bagi orang yang berakal, atau orang yang mau mendengarkan, sedangkan dia menyaksikan.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama mendorong kita untuk banyak melakukan shaum pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,

Shaum yang paling utama setelah (shaum) Ramadhan adalah shaum pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah)

Imam An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk menunaikan shaum adalah pada bulan Muharram.” (Syarh Shahih Muslim)

Lalu mengapa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama diketahui banyak shaum di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi.

Pertama: Mungkin saja Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama baru mengetahui keutamaan banyak shaum di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.

Kedua: Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak shaum pada bulan Muharram.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Shaum yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab) adalah shaum di bulan Muharram (syahrullah).” (Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 67).

Shaum yang Utama di Bulan Muharram adalah shaum ‘Asyura

Dari hari-hari yang sebulan itu, shaum yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah shaum pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram. Yang memiliki pendapat berbeda adalah Ibnu ‘Abbas yang menganggap ‘Asyura adalah tanggal 9 Muharrram. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 99). Shaum pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,

Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama ditanya mengenai keutamaan shaum Arafah? Beliau menjawab, ”Shaum Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan shaum ’Asyura? Beliau menjawab, ”Shaum ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Imam An Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Para ulama sepakat, hukum melaksanakan shaum ‘Asyura untuk saat ini (setelah diwajibkannya shaum Ramadhan) adalah sunnah dan bukan wajib.” (Al Minhaj Syarh Muslim, 8/4)

Sejarah Pelaksanaan Shaum ‘Asyura

Tahapan pertama: Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama melaksanakan shaum ‘Asyura di Makkah dan beliau tidak perintahkan yang lain untuk melakukannya.

Dari ’Aisyah -radhiyallahu ’anhā-, beliau berkata,

"Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan shaum ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga melakukan shaum tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan shaum tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala shaum Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan shaum ’Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan bershaum. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak bershaum).” (HR Bukhari no. 2002 dan Muslim no. 1125)

Tahapan kedua: Ketika tiba di Madinah, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama melihat Ahlul Kitab melakukan shaum ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Lalu beliau pun ikut bershaum ketika itu. Kemudian ketika itu, beliau memerintahkan pada para sahabat untuk ikut shaum. Melakukan shaum ‘Asyura ketika itu semakin ditekankan perintahnya. Sampai-sampai para sahabat memerintah anak-anak kecil untuk turut shaum.

Dari Ibnu Abbas radhiyallāhu ’anhumā, beliau berkata,

Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama mendapati orang-orang Yahudi melakukan shaum ’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bertanya, ”Hari yang kalian beshaum ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa bershaum pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau bershaum pada hari ini”. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk shaum.” (HR Muslim No. 1130)

Apakah ini berarti Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama meniru-niru (tasyabbuh dengan) Yahudi?

Imam An-Nawawi –rahimahullah- menjelaskan, ”Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama biasa melakukan shaum ’Asyura di    Makkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy. Kemudian Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama tiba di Madinah dan menemukan orang Yahudi melakukan shaum ‘Asyura, lalu  beliau shallallāhu‘alaihi wasallama pun ikut melakukannya. Namun beliau melakukan shaum ini berdasarkan wahyu, berita mutawatir (dari jalur yang sangat banyak), atau dari ijtihad beliau, dan bukan semata-mata berita salah seorang dari mereka (orang Yahudi). Wallahu a’lam.”(Al Minhaj Syarh Muslim, 8/11)

Para ulama berselisih pendapat apakah shaum ‘Asyura sebelum diwajibkan shaum Ramadhan dihukumi wajib ataukah sunnah mu’akkad? Di sini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Sebelum diwajibkan shaum Ramadhan, pada masa tahapan kedua, shaum ‘Asyura dihukumi wajib. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Abu Bakr Al Atsrom.

Pendapat kedua: Pada masa tahapan kedua ini, shaum ‘Asyura dihukumi sunnah mu’akkad. Ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i dan kebanyakan dari ulama Hambali. (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 94)

Namun yang jelas setelah datang shaum Ramadhan, shaum ‘Asyura tidaklah diwajibkan lagi dan dinilai sunnah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi -rahimahullah-. (Al Minhaj Syarh Muslim, 8/4)

Tahapan ketiga: Ketika diwajibkannya shaum Ramadhan, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama tidak memerintahkan para sahabat untuk shaum ‘Asyura dan tidak terlalu menekankannya. Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama mengatakan bahwa siapa yang ingin shaum, silakan dan siapa yang tidak ingin shaum, silakan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ’Aisyah radhiyallāhu ’anhā dalam hadits yang telah lewat dan dikatakan pula oleh Ibnu ’Umar berikut ini. Ibnu ’Umar -radhiyallāhu ’anhumā- mengatakan,

Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan shaum pada hari ’Asyura. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama pun melakukan shaum tersebut sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan, begitu pula kaum muslimin saat itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallama mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin shaum, silakan shaum. Barangsiapa meninggalkannya juga silakan.” (HR. Muslim no. 1126)

Ibnu Rajab -rahimahullāh- mengatakan, “Setiap hadits yang serupa dengan ini menunjukkan bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama tidak memerintahkan lagi untuk melakukan shaum ‘Asyura setelah diwajibkannya shaum Ramadhan. Akan tetapi, beliau meninggalkan hal ini tanpa melarang jika ada yang masih tetap melaksanakannya. Jika shaum ‘Asyura sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan dikatakan wajib, maka selanjutnya apakah jika hukum wajib di sini dihapus (dinaskh) akan beralih menjadi mustahab (disunnahkan)? Hal ini terdapat perselisihan di antara para ulama.

Begitu pula jika hukum shaum ‘Asyura sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan adalah sunnah muakkad, maka ada ulama yang mengatakan bahwa hukum shaum Asyura beralih menjadi sunnah saja tanpa muakkad (ditekankan). Oleh karenanya, Qois bin Sa’ad mengatakan, “Kami masih tetap melakukannya.(Latho-if Al Ma’arif, hal. 96). Intinya, shaum ‘Asyura setelah diwajibkannya shaum Ramadhan masih tetap dianjurkan (disunnahkan).

Tahapan keempat: Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan shaum Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan shaum pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi shaum Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Ibnu   Abbas radhiyallāhu   ’anhumā berkata   bahwa    ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama melakukan shaum hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,

Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan shaum pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,

Belum sampai tahun depan, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)

Menambahkan Shaum 9 Muharram

Sebagaimana dijelaskan di atas (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir umurnya, Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama bertekad untuk menambah shaum pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau sudah keburu meninggal sehingga beliau belum sempat melakukan shaum pada hari itu. Lalu bagaimana hukum menambahkan shaum pada hari kesembilan Muharram? Berikut kami sarikan penjelasan Imam An-Nawawi rahimahullāh.

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan

selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) shaum pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama shaum pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) shaum juga pada hari kesembilan. Apa hikmah Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama menambah shaum pada hari kesembilan? Imam An- Nawawi rahimahullāh melanjutkan penjelasannya. Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama shaum pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya shaum pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai shaum Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. (Al Minhaj Syarh Muslim, 8/12-13)

Ibnu Rojab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan shaum pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya shaum pada hari kesepuluh saja.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 99). Intinya, kita lebih baik shaum dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan shaum ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:

  1. Tingkatan yang lebih sempurna adalah bershaum pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
  2. Tingkatan di bawahnya adalah bershaum pada   10   Muharram (Lihat Tajridul Ittiba’, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, hal. 128, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1428 H)

Shaum 9, 10, dan 11 Muharram

Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya shaum pada hari ke-9, 10, dan 11 Muharram. Inilah yang dianggap sebagai tingkatan lain dalam melakukan shaum Asy Syura. (Sebagaimana pendapat Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad). Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallāhu ’anhumā. Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallama bersabda,

Shaumlah pada hari ’Asyura’ (10 Muharram) dan selisilah Yahudi. Shaumlah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu ’Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho’if (lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abi Laila -yang nama aslinya Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin ’Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata, ”Daud kadang yukhti’ (keliru).” Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Teteapi, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma’anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ’Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallāhu ’anhumā berkata,

Selisilah Yahudi. Shaumlah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.” Sanad hadits ini adalah shahih, namun diriwayatkan secara mauquf (hanya dinilai sebagai perkataan sahabat). (Dinukil dari catatan  kaki  dalam  kitab Zaadul  Ma’ad,  Ibnul  Qayyim,  2/60,  terbitan Darul Fikr yang ditahqiq oleh Syaikh Abdul Qodir Arfan).

Amalan sunnah berikutnya adalah memberikan kelapangan kepada keluarga, termasuk istri dan anak-anak, di hari asyura. Memberikan kelapangan ini maksudnya adalah membantu mereka dan menyenangkan hati mereka. Misalnya buka bersama di rumah makan, memberikan hadiah, dan sejenisnya.

Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah membuat judul khusus  يوم التوسعة عاشوراء (Bagaimana merayakan hari Asyura). Sayyid Sabiq mencantumkan hadits ini di bawah judul tersebut:

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi dirinya dan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu” (HR. Baihaqi)

“Hadits tersebut memiliki riwayat lain, tetapi semuanya lemah,” kata Sayyid Sabiq. “Hanya saja apabila digabungkan antara satu dengan lainnya, maka bertambah kuat sebagaimana yang telah dikatakan Sakhawi.” Berikut ini sebagian hadits-hadits yang dimaksud oleh Sayyid Sabiq sebagai penguat hadits di atas:

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan melapangkannya di keseluruhan tahun itu” (HR. Thabrani dan Hakim)

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka ia takkan kesulitan di waktu lain sepanjang tahun itu” (HR Thabrani)

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan kepada keluarganya sepanjang tahun itu” (HR Baihaqi)

“Barangsiapa memberi kelapangan bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan baginya sepanjang tahun itu” (HR Baihaqi)

 

Bersambung...

 

Oleh : Ust. Anugerah, ST., Lc., MA

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram